Indonesia dan Malaysia sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia masih berusaha melawan diskriminasi dari Uni Eropa karena masalah lingkungan. Para pengamat menilai kecil harapan bagi Uni Eropa untuk menerima ekspor minyak sawit dari kedua negara tersebut.
BERITA GENCIL – VOA – Meski Indonesia masih berupaya melawan diskriminasi sawit dari Uni Eropa, para pengamat menilai kecil kemungkinan Uni Eropa akan menghentikan tindakan yang dianggap mendiskriminasi sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Pasalnya, kata pengamat ekonomi Fahmy Radhi, Indonesia juga menghentikan ekspor bijih nikel yang kemudian digugat Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).Organisasi Perdagangan Dunia/WTO).
“Saya pesimis apalagi Uni Eropa marah kepada Indonesia karena melarang ekspor bijih nikel dan itu merupakan pukulan berat bagi industri Uni Eropa. Jadi sesulit apapun mungkin harapannya kecil,” ujar Fahmy.
Oleh karena itu, kata dia, Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar minyak sawit ke beberapa negara lain dan pasar dalam negeri, agar ketergantungan terhadap Uni Eropa dapat dikurangi.
“Namun sebenarnya kebutuhan dalam negeri cukup besar untuk bahan baku minyak goreng, atau perlu juga dikembangkan produk turunan dari sawit yang bisa menjadi pasar dalam negeri agar tidak terlalu bergantung pada ekspor. Jadi menurut saya, diversifikasi pasar selain Uni Eropa perlu dilakukan,” jelasnya.
Misi bersama
Dalam kunjungan kerja ke Malaysia pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengajak Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim untuk terus mempererat kerja sama dalam menghadapi berbagai diskriminasi terhadap sawit dan produk komoditas lain dari Uni Eropa.
“Saya sangat menghargai itu baru-baru ini dilakukan misi bersama Indonesia-Malaysia ke Brussel, dan kerjasama seperti ini harus terus diperkuat,” kata Jokowi saat bertemu Anwar di Seri Perdana, Putrajaya, Malaysia, Kamis (8/6).
Pada 30-31 Mei, Indonesia dan Malaysia menggelar misi bersama atau misi bersama ke Brussel, Belgia untuk menyampaikan keprihatinan terkait Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Dua negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia memandang bahwa EUDR dapat menghambat akses minyak sawit ke pasar Uni Eropa dan merugikan petani kecil (petani kecil) tunduk pada persyaratan peraturan EUDR.
Seperti dikutip dari laman Kementerian Perekonomian, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof memimpin misi bersama tersebut.
Di Brussel, keduanya bertemu dengan beberapa pejabat kunci di Uni Eropa, termasuk Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borrell-Fontelles, Komisaris Urusan Lingkungan, Laut dan Perikanan Virginijus Sinkevicius, dan
Wakil Presiden Eksekutif European Green Deal dan Komisaris untuk Kebijakan Aksi Iklim Frans Timmermans.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, para pihak sedang menjajaki pembentukan platform konsultasi antara Indonesia, Malaysia dan Uni Eropa yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Dampak EUDR pada Petani Kecil
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Manurung mengatakan tidak ada dampak langsung dari peraturan EUDR terhadap petani kecil. Dia mengatakan ekspor minyak sawit mentah (Minyak Sawit Mentah/CPO) Indonesia ke Uni Eropa hanya 2,05 juta ton atau sekitar 4,3 persen dari total produksi minyak sawit pada 2022 sebesar 47 juta ton.
Selama ini, kata Gulat, ekspor CPO ke Uni Eropa hanya dilakukan oleh perusahaan sawit besar seperti Wilmar dan Sinar Mas karena 90 persen sawit yang masuk ke Uni Eropa harus mendapat sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm. Minyak (RSPO). Di sisi lain, mayoritas produksi CPO berasal dari petani kecil yang belum memiliki sertifikasi ini.
Oleh karena itu, menurut Gulat, perusahaan atau korporasi sawit besar yang memasok ke Uni Eropa hanya perlu menaikkan tingkat sertifikasi RSPO agar dapat memenuhi regulasi EUDR.
“Jadi solusinya ekspor ke Uni Eropa ituupgrade mengikuti EUDR. Itu perbedaan kecil antara persyaratan sertifikasi RSPO dan EUDR,” katanya kepada VOA.
Senada dengan Fahmy, Gulat mengatakan india perlu memperkuat hubungan dagang dengan pelanggan CPO Indonesia sebelumnya seperti Amerika Serikat, India, China dan menambah pasar baru, seperti Arab Saudi dan negara Asia lainnya.
Selain itu, pemerintah juga dapat meningkatkan penyerapan CPO untuk kebutuhan dalam negeri. Tahun lalu, pasar domestik menyerap 48 persen dari produksi CPO sebesar 47 juta ton pada 2022.
“Kita lupa bahwa kita juga konsumen besar (kelapa sawit). Mengapa Anda takut dengan Uni Eropa? Kami tidak meninggalkan Uni Eropa, tetapi melayaninya. Siapa? Selama ini pemasok utama CPO ke Uni Eropa, Sinar Mas dan Astra yang sudah memasok 2,05 juta ton, hanya mengikuti aturan EUDR, dan selesai. Kemudian meningkatkan permintaan untuk Indonesia sendiri,” katanya.